Pejuang Rumah Tangga
Yesi Elsandra |
Betapa repotnya…
Rasanya saya ingin menanyakan kepada setiap ibu di muka bumi ini. Adakah yang lebih lelah dari saya? Saat pagi harus bangun sebelum subuh, menyiapkan segala sesuatu keperluan suami dan anak-anak. Memasak sarapan, memastikan bekal makanan anak-anak sudah di tempatnya masing-masing. Pakaian kerja suami, seragam sekolah anak-anak dan baju kerja saya sendiri sudah harus rapi. Jika tak ingin menyandang predikat istri pemalas dan ibu tak becus. Seperti selentingan komentar miring tetangga yang tidak memahami seluk-beluk isi rumah tetangganya.
Rasanya saya ingin menanyakan kepada setiap ibu di muka bumi ini. Adakah yang lebih lelah dari saya? Saat pagi harus bangun sebelum subuh, menyiapkan segala sesuatu keperluan suami dan anak-anak. Memasak sarapan, memastikan bekal makanan anak-anak sudah di tempatnya masing-masing. Pakaian kerja suami, seragam sekolah anak-anak dan baju kerja saya sendiri sudah harus rapi. Jika tak ingin menyandang predikat istri pemalas dan ibu tak becus. Seperti selentingan komentar miring tetangga yang tidak memahami seluk-beluk isi rumah tetangganya.
Saya
ibu empat anak dengan profesi sebagai dosen di kota besar ini. Saya mengurusi
semuanya tanpa ada Asisten Rumah Tangga (ART). Kondisi saat ini sudah lebih
saya syukuri dibandingkan tahun lalu. Saat suami masih bekerja di luar kota.
Jadilah saya menjadi single fighter
sendirian. Mengurusi tiga bocah dan seorang bayi. Suami hanya bisa pulang Sabtu
dan Minggu. Belum lekang dari ingatan saya saat listrik mati tidak ada satu
penerangan pun di rumah kami. Jangankan lampu darurat atau lilin, aplikasi
senter di smartphone pun kebetulan
tidak bisa berfungsi sebab baterai ponsel kehabisan daya.
Jadilah saya berusaha menenangkan
anak-anak dengan memeluk mereka di atas kasur. Si bungsu tak dapat menyembunyikan
rasa takutnya, dan huaaaa… huhuu…. Ia menangis meraung-raung takut gelap.
Bujukan abang dan kakaknya tak mampu mendiamkan si bayi ganteng itu. Akhirnya
dalam gulita saya menyusui dan ia pun tertidur sampai listrik hidup kembali.,
Pemadaman listrik yang serentak
belum apa-apa ketimbang sekring listrik rumah kami yang sudah aus dan wajib
diganti. Bila pada mati listrik bersama-sama tetangga masih bisa ditunggu waktu
hidupnya, pada kerusakan listrik kitanya yang mesti berusaha keluar rumah, pergi
ke toko alat-alat listrik dan menyalakannya sendirian. Sesuatu yang tadinya
di luar jangkauan nalar saya. Dengan si kecil merengek tidak nyaman, kami pergi
bersama-sama mencari toko peralatan listrik yang masih buka. Nahasnya kejadian
ini pada malam hari jelang pukul Sembilan. Andai boleh meminta, mengapa tidak
tadi siang saja atau sore listriknya korslet. Menelepon suami percuma saja
karena ia hanya bisa memandu dari jauh dan menunjukkan cara memasang sekring
jika sudah sampai di rumah kembali.
Pernah juga suatu ketika saat bangun
di pagi hari mendadak pasokan air bersih dari PDAM terhenti. Saya pikir, ah
mungkin ini hanya penghentian sementara, beberapa saat lagi pasti mengalir
kembali. Sampai menjelang petang, aliran air yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul.
Usut punya usut ternyata pipa penyalur yang berada di atas selokan depan rumah
patah jadi dua. Kemungkinan anak-anak yang bermain di sekitar sana tak sengaja
menginjaknya dan muncratlah air selama 24 jam ke dalam selokan.
Andai saja saya anak kecil pasti
sudah terisak-isak melampiaskan emosi yang memenuhi dada. Bagaimana mungkin hal
ini bisa saya alami, mengalami krisis air hampir seharian. Mandi dan cebok
dengan sisa stok air galon untuk minum kami, sementara rupanya pipa air
penyalur ke kran tidak bisa berfungsi. Belum lagi bayangan tagihan air bulan
depan yang bakal meledak, padahal airnya mengalir ke parit, bukan untuk kami
manfaatkan. Untunglah memiliki tetangga yang baik hati. Dengan tulusnya ia
menyambungkan selang panjang yang terhubung ke kran di halaman depannya, ke
rumah kami.
Di waktu yang lain saat ibu bekerja
lainnya tinggal berangkat saja ke kantor, saya berjuang dahulu baru bisa
mencapai kampus tempat saya beraktivitas. Saya menggendong anak untuk
dititipkan di daycare rumahan milik
tetangga beda RW. Tak ada yang boleh ketinggalan satu item-pun jika ingin bayi
saya nyaman selama ditinggal dengan pengasuhnya. Mulai dari diaper, sarapan,
makan siang, snack, beberapa stel
baju ganti, minyak telon, bedak, mainan, dan boardbook kesayangannya, semua dimasukkan ke dalam sebuah tas besar
yang saya bawa bersisian bersama tas laptop dan tas tangan saya.
Mengapa tidak mengendarai mobil
saja? Padahal satu unit MPV terparkir manis di garasi. Si Silky Silver Metallic siap saya ajak ke mana saja. Sayang, rumah tempat penitipan itu berada lumayan jauh di dalam gang sempit.
Sehingga demi kepraktisan, it jadilah saya menaiki sepeda motor matic
dengan anak dalam gendongan dan barang-barang bawaan di bagian kaki. Fyuhh,
jangan ditanya ribetnya persiapan untuk mencapai ke titik keluar dari rumah.
Jika ada salah satu benda yang ketinggalan, sudah bisa dipastikan saya mesti
balik lagi mengambilnya ke rumah. Ibu penjaga bayi hanya murni menunggui anak
saya tanpa dibebani dengan fasilitas lainnya. Ibaratnya putra saya cuma
menumpang berteduh saja di rumahnya. Semuanya saya yang sediakan.
Ingin mencari penitipan bayi yang lain,
kok rasanya belum ada yang sesuai. Cocok dengan kantong kami, maksudnya. Saat
ini level kesanggupan kami membayar nanny
baru sekitar lima puluh ribu rupiah sehari. Jika daycare lain yang dikelola secara professional menetapkan tarif di
atasnya maka kemungkinan besar kami belum sanggup. Makanya dengan kondisi serba
terbatas seperti ini, hari-hari pergi bekerja sambil mengantar-jemput anak ke daycare-nya tetap saya jalani meskipun
rasanya luar biasa, amat sangat kewalahan.
Seringkali saat sudah tiba di kampus
saya merasa kecapekan. Di waktu dosen-dosen lain tampak segar bugar memulai
perkuliahannya. Saya menahan kantuk dan lelah sebab energi sudah banyak habis
sebelum sampai di tempat mengajar. Demikianlah waktu terus berputar dan saya
masih menjalani hari-hari penuh perjuangannya ini. Ingin rasanya “keluar” dari
semua ini, meski tetap menempatkan suami dan
buah hati di dalam tempat istimewa. Saking lelah hati dan fisik yang
mendera setiap harinya.
Membayangkan rekan-rekan sejawat
yang lain bisa mengikuti international
conference di negeri jiran, tebersit rasa iri. Enak ya mereka bisa
bepergian mempresentasikan karya ilmiah, meluaskan cakrawala, menambah kolega
dari mancanegara. Sementara saya, untuk bisa memenuhi tugas wajib mengajar
tidak telat sampai kelas saja, sudah bersyukur. Semuanya saya kembalikan pada
Sang Pemilik Skenario, Allah SWT. Tentu DIA ada maksud mengapa saya diuji
dengan perjuangan menaklukkan rasa lelah luar biasa ini setiap harinya.
Tak Ingin Menyerah Kalah
Menjalani profesi sebagai seorang
ibu di dalam rumah dan dosen di kampus, membutuhkan superskill. Kecerdasan emosi, ketangkasan berpikir, taktis,
strategis (wah, seperti mau perang saja) dan kreatif. Bagaimana tidak, mengelola
empat orang anak yang masih kecil-kecil, tanpa ART, dan suami yang menghabiskan
waktunya seharian di kantor, membuat saya mau tidak mau harus jadi pejuang.
Islamedia |
Belum lagi pekerjaan kampus yang
dibawa pulang ke rumah. Kenapa mesti dibawa pulang? Sebab di kampus saya hanya
berkesempatan menjejakkan kaki sekejap saja. Memenuhi jadwal mengajar, dan
kembali pulang. Untuk itu suka tidak suka penyusunan proposal, baik penelitian
maupun pengabdian masyarakat mutlak dikerjakan dari rumah. Dan mengorbankan jam
tidur! Semoga Allah SWT senantiasa mengaruniakan kesehatan untuk saya.
Mengurangi jam beristirahat sama saja mengambil risiko rentan sakit. Saya tidak
tega di saat jam menyuapi anak makan, saya malah membuka laptop dan mengetik.
Sesuatu yang tidak pada tempatnya, tidak sadar ruang dan peran sebagai ibu.
Jika mengharapkan bergantian
mengasuh anak dengan suami, belum-belum meminta tolong, suami sudah tepar duluan. Sepertinya malah lebih
lelah daripada saya. Yang bisa saya lakukan adalah tetap mengumpulkan semangat
sebesar-besarnya untuk selalu bermuka manis di hadapan anak-anak saya. Senyum
itu penuh energi. Meski capek, berusaha untuk selalu menyunggingkan senyum pada
keluarga seolah menyuntikkan tenaga baru bagi diri saya.,
Saya ambil nasi lembek dan sup bikinan
saya, dengan menghibur diri memakai kata-kata positif, SAYA BAIK-BAIK SAJA,
SAYA BISA, SAYA IBU YANG CINTA KELUARGA, saya mulai menyuapi si putra cilik. Menatap
mulut mungilnya yang bertambah lucu saat mengunyah-ngunyah makanan, saya
tertawa. Ya Allah, berdosanya saya jika mengabaikan anak menggemaskan ini.
Begitu juga dengan ketiga anak saya yang agak besar. Memandangi mereka
beraktivitas dengan tenang sebab ada saya yang memenuhi semua kebutuhan mereka,
saya pun merasakan ketentraman.
Mendekatkan diri pada Allah SWT juga
menjadi penguat saya dalam menjadi ibu pejuang rumah tangga. Kalau bukan karena
pertolongan-Nya mungkin pencapaian saya tidak sampai seperti ini. Melahirkan
keempat anak dengan normal, menjadi dosen negara (ASN), memiliki suami yang
insyaallah sampai saat ini masih setia pada saya dan anak-anaknya,
mudah-mudahan seterusnya hingga maut memisahkan kami. Sering saya rasakan, kala
saya ‘jauh” dari Allah, hati saya seakan kering, nurani menjadi kerontang
bagaikan di gurun sahara. Hanya sikap berserah diri pada-Nya dalam sujud-sujud
panjang saya di atas sajadah merah kesayangan, itulah yang menjadi salah satu
yang menguatkan saya mengalahkan semua keterbatasan dalam hidup.
Saya juga mencoba mengafirmasi diri
bahwa saya adalah perempuan yang beruntung. Dipercaya untuk mengandung dan
melahirkan anak-anak dan istri dari seorang lelaki yang saleh. Hampir setiap
hari saya curhat mengenai perjuangan yang saya alami ini. Meski kadang dibumbui
dengan selisih paham, sebab suami yang mengedepankan rasionalitas tidak
menganggap berbagai kendala yang saya dapat sebagai perjuangan. Menurutnya, itu
merupakan hal yang wajar dan jamak dihadapi keluarga muda di zaman now. Sulitnya mencari ART yang amanah,
beban kerja di perguruan tinggi yang semakin berlipat ganda. Terkadang membuat
saya ngos-ngosan menjalani peran
mulia ini. Namun insyaallah tak akan memaksa saya untuk menyerah kalah pada
keadaan.
Tarik Napas, Terima dan Ikhlaslah
Hari-hari penuh perjuangan yang saya
jalani tak mungkin menjadi kenangan indah di suatu hari nanti bila saya tidak
mengukirnya dengan hati yang gembira pula. Biarlah orang lain berkomentar apa
saja. Menyederhanakan masalah saya, mengecilkan arti perjuangan saya, tidak
mungkin saya menutup mulut orang atau mengontrol mesti hal baik saja yang saya
dengar darinya. Tidak mungkin. Lebih baik saya fokus saja pada anak-anak, pada
suami tercinta, pada kegiatan kampus. Itu saja sudah membuat saya supersibuk.
Saya tidak mempunyai waktu mengakomodasi gosip-gosip yang tidak jelas.
Ma'mun Affany |
Saya menarik napas dalam-dalam jika
merasakan kembali lelah yang luar biasa. Pejamkan mata untuk mengingati semua
nikmat yang telah Allah karuniakan untuk saya. Malu rasanya jika masih
mengeluhkan hal-hal yang remeh-temeh. Masih banyak lagi orang-orang yang nasibnya
lebih sengsara dibandingkan problem saya yang "cuma" sekitar gonta-ganti
pembantu, kelelahan, pekerjaan rumah dan kampus yang seabrek serta jadwal
mengajar yang padat.
Justru saya berterima kasih atas
semua tantangan dalam melakoni perjuangan ini. Allah SWT ingin melihat sekuat
mana saya menjadi pejuang rumah tangga. Saya menerima segalanya dengan lapang
dada, saya mengikhlaskan semua kelelahan ini. Satu saat saya ingin mengenang
perjuangan di titik ini menjadi ingatan yang manis. Bukan keluh-kesah yang
berujung pada kufur nikmat. SAYA BAHAGIA, SAYA BERSYUKUR, SAYA BERUNTUNG.
Kembali saya memotivasi diri sendiri. Saya seorang ibu, jika saya
berbahagia menjalani perjuangan ini, insyaallah putra-putri saya pun akan
berbahagia pula.
Keren kak..
BalasHapusdi sela-sela waktu yang sibuk kakak tetap punya waktu berprestasi.
Prestasi² jambu-lah, wkwk
HapusBarakallah kk mia, Salut deh deh ibu pekerja ranah publik yang masih bisa menghandel semua. btw tampilan blognya baru ya ^^
BalasHapusSuka ya display-nya... Hihi
HapusYuhu bunda, this post is so relate. Soalnya saya juga ngurus 3 anak sendiri without ART. It's oke kok bun kalau kita memang merasa lelah. Terima perasaan itu. Menerima keadaan yang lelah biasanya membuat saya merasa lebih baik. Baru setelahnya afirmasi positif masuk. Stay strong ya bunda
BalasHapusSetuju Bund
HapusKeep calm and stay strong
Aku bacanya sedih kak mia gak tau kenapa wkwk
BalasHapusTapi aku tetap salut,
Tanpa art, mengajar dan sering ikut tantangan blog dan tercapai pulak satu hari satu post,
Semoga lelah kak Mia berganjar surgaa, aamiin
Aamiin, nulis ini sebagai pengingat diri, Una... Makasih doa baiknya yaa
HapusI feel you bund.
BalasHapusMenjadi ibu multitasking memang tak mudah. Namun, semua akan terbayar dengan kebahagiaan dunia akhirat. Salut banget.
Betul³ insyaallah ya Bun
HapusSeorang ibu meskipun dia juga bekerja, nalurinya pasti seperti mengharuskan semua pekerjaan domestik harus selesai dikerjakan sebelum beralih ke pekerjaan kantornya. Salut untuk seluruh ibu,, yang mampu membagi waktu dan mengerjakan semua kewajibannya dengan tanpa keluhan.
BalasHapusSebagai manusia biasa terkadang saya kelepasan mengeluh juga, Mbak. Tp insyaallah segera ingat lg
HapusWahh saya banget tu mba mia..
BalasHapusWalo selain sbg ftm saya juga kadang kerja serabutan.
Tapi saat ini bnr2 ftm saya.
Kalo capek saya biarin aja semua berantakan.
Main sama anak lebih penting 😇
Alhamdulillah hingga saat ini pak su dalam keadaan 'harap maklum'
Krn klo saya capek dan stress beliaw juga yang rugi 🤣🤣🤣
Dijalani, dinikmati, disyukuri yaa Mak Vi
HapusBacanya aja capek mba hehe.. tapiii aku selalu kagum sm buibu yang bekerja dan punya anak. Tak terbayangkan. Aku yg cuma kerja saja, ngurus diri sendiri sudab kecapekan. Makan malam beli aja, ga ush cuci piring hahaha pengennya leha2 aja. Klo disuruh mikirin orang lain (suami/anak) kayaknya gak sanggup. Mgkn itu sebabnya blm ketemu jodohnya ya hahaha semangat bukk insya Allah ganjarannya berlipat2 krn mengurus keluarga
BalasHapusSemoga ketemu jodoh yg sesuai ya Mbak. Adikku yg bungsu, cewek, jg blm ketemu jdhnya nih
HapusMasya Allah bundaa,,,, peluuuk..... Saya yang enggak bekerja di luar rumah aja kadangkala merasakan lelah, jenuh,, Perjuangan saya pun tidak apa-apanya dibandingkan perjuangan bunda... Tetap semangat yaa bund... Ingat, ladang pahala yang amat banyak ada di depan kitaaa....
BalasHapusPeluk juga Bundaaa....
HapusIyup, ladang pahalanya gak jauh² ya
Wow bukan main ibu yang satu ini, dengan jadwal yang sedemikian pada masih menyempatkan diri untuk mengekspresikan diri dengan menulis. Semoga sehat dan bahagia selalu
BalasHapusMenulis caraku menjaga kewarasan, Mbak hehe
HapusSemangat Mbak Mia...Hebat mutitasking-nya! Salu!
BalasHapusSemoga segera ada solusinya ya
Mungkinkah ada ART paruh waktuyang bisa membantu.?
Karena mesti ingat juga kalau kita overload sekarang, dampaknya di belakang. Kesehatan tetap nomor satu baik jiwa dan raga. Kalau bisa beban pekerjaan domestik ada yang dilimpahkan sehingga Mbak bisa fokus ke hal yang lebih penting, ke materi ajar, dll (bukan domestik enggak penting ya..) Karena sayang, jika punya ilmu enggak dibagi secara optimal ke sesama
Noted, Mbak Dian. Jangan sampe overload ya, trus teteup hunting ART part time kok ini,,
HapusYupppz bener bangett kusukaaaa.... Materi ajarku udah ada konsepnya cm blm eksekusi krn gak fokus wkwk. Nuwun nggih Mbak Dian. Kl komen selalu bermutu
Setiap Ibu itu keren, Mbak Mia. Dan saya setuju, bila seorang Ibu dikatakan pejuang rumah tangga. Maka tidak salah kalau ada kalimat bijak, Ibu adalah pondasi utama keluarga.
BalasHapusJadi teringat pejuangan ibu saya juga. Punya anak 5, sekolah semua. Kakak saya 2 SMA, saya SMP, dua adik saya SD. Ibu saya juga kalau pagi sempat jualan bensin eceran, sambil masak, nyuci dan lainnya.
Salam hormat bagi para mom semua.
Salam takzhim sm ibunya ya, Mas. Ibu zaman old memang luar biasa. Penuh penghayatan terhdp perannya
Hapus"Senyum itu penuh energi. Meski capek, berusaha untuk selalu menyunggingkan senyum pada keluarga seolah menyuntikkan tenaga baru bagi diri saya"
BalasHapusMasyaAllah Mbak, saya salut dg ketaktisan dan siap tanggap Mbaknya dg aktivitas sehari2 baik di rumah maupun di kampus, untuk keluarga maupun pekerjaa,
Semoga kian diberikan kesehatan selalu ya mbak, untuk terus melakoni tugas double, keep strong, Mbak.
Aamiin.
HapusMakasih Mbak
Semoga sehat selalu jg yaa
Tapi kadang aku masih pengen kerja gitu kayak yg lainnya. Tp kebalikan juga dengan mereka yang segera dirumah. Namanya hidup memang harus bersyukur ya mom
BalasHapusIya Mbak. Being a grateful mom
HapusSalam kenal, Bunda. Salut dengan kerja keras sebagai ibu rumah tangga 4 orang anak yang masih kecil dan dosen ASN. Semangat dengan apa yang dialami karena nanti, insya Allah akan berbuah manis,
BalasHapusSemoga kesibukannya tidak membuat drop. semoga nanti ada asisten rumah tangga amanah yang bisa paruh waktu untuk membantu.
Saya ibu rumah tangga biasa yang urus rumah saja kadang dibantu suami karena sedang fokus pada dunia kerja menulis padahal suami juga lelah bekerja sebagai kuli bangunan tetapi tetap mendukung dan percaya pada sang istri karena sama-sama ingin meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih baik.
Apa pun profesi kita, semoga tetap iklhas dan semoga kita tetap sehat dan kuat. Aamiin.
Abaikan gunjingan orang luar. Kita hidup untuk diri dan keluarga bukan untuk mengurus urusan orang lain yang segambreng. :)
Bener banget nih smua yg Mbak tuliskan ini. Senangnya disupport sesama ibu. Makasih yaa
HapusTiap ibu punya tantangannya masing-masing ya kak. Salut liat kakak masih bisa mengerjakan semua tanpa ART. Dv alhamdulillah masih ada ART, itupun tiap pulang kantor anak2 melipir ke mamaknya semua. Istirahat pun nggak bisa. Ternyata kak mia masih lebih capek lagi dari dv. Keep strong ya kak..
BalasHapusKrn belum dpt yg pas lg nih, Dv... Nyari ART yg amanah keknya "beti" sm nyari jodoh yg saleh x yaa... Wkwk
HapusPekerjaan apapun memiliki tantangan dan kendala tersendiri.
BalasHapusPun menjadi ibu rumah tangga juga demikian.
Menjadi ibu rumah tangga memang dilihat secara kasat mata sering dianggap sebelah mata.
Tapi membutuhkan tenaga yang ekstra 24 jam non stop
Semangat....
Ibu rumah tangga itu perempuan berkarir surga kata Ust. FS
HapusMasyaAllah membacanya ngrasa aku ini gak ada apa2nya mbaaak hehe :D
BalasHapusEnggak gampang menjalankan dua peran sekaligus ya pengurus RT dan anak2 plus aktivitas kerja di luar rumah.
Yah saat rasa lelah melanda emang yg bisa jd tempat mengeluh hanya Tuhan ya mbak, thanks remindernya mbak :D
Soalnya kl dibawa ngeluh² gak jelas malah neting yg ada, Mbak. Hehe... Thanks for comment yaa Mba April
HapusPekerjaan seorang ibu dan istri memang bukan pekerjaan main main, ganjarannya surga. Apalagi sembari bekerja jadi dosen terus menulis. Semoga jadi amal jariyah, bun...
BalasHapusAamiin, makasih ya Mas
HapusSuper sekali, Mbak. Sungguh. Saya kagum dengan keputusanmu.
BalasHapusSaya juga cukup sering merasa kelelahan yang amat sangat. Saya IRT tanpa ART, dengan beberapa profesi yang saya kerjakan semampu saya, juga punya kewajiban juga merawat ibu di rumah saudara. Semua saya kerjaan sendiri. Yang menambah lelah adalah permintaan saudara yang juga menuntut rumahnya yang 8x lebih luas rumah saya juga dibersihkan, karena ia tanpa ART. hehehe...
Nah, Mbak... kalau membaca profesimu sebagao dosen, yang tentu butuh kondisi prima juga, mungkin perlu memikirkan ART. Karena dunia kerja yang Mbak geluti juga butuh kondisimu yang all out.
Pekerjaan di rumah yang bisa didelegasikan, bisa diberikan pada ART.
Hanya saran, Mbak, mungkin layak dipikirkan.
Iya, mendelegasikan sebagian tugas domestik ke art kayaknya jd opsi wajib yaa coz benar² gak bs pegang smua
HapusSeorang ibu sekaligus Istri memang luar biasa, bisa melakukan banyak hal. Mengurus anak, rumah, hingga suami dan ganjaran surga mak.. InsyaAllah
BalasHapusInsyaallah, aamiin
HapusSalut banget sama perempuan yang multitasking, jadi istri, ibu, working mom semua dikerjakan dengan ikhlas, betul sih kayaknya butuh bantuan ART karena pekerjaan kakak berat juga sebagai dosen
BalasHapusDosen zaman now kerjaan segambreng hehe
HapusSalut untuk seluruh perempuan di dunia ini. Dan jangan lupa, pastikan kita gak selalu membeda-bedakan si ibu A gini..ibu B gitu..atau tentang working mom vs stay at home mom dll. Karena pasti setiap dari mereka punya alasan masing-masing.
BalasHapusIyupp, masing² punya medan perjuangannya ya
HapusIlustrasinya ngena banget mbak, sangat menggambarkan multifungsi hahahaha, keren sih
BalasHapusSi ibu tangannya banyak banget yak udah kayak Dewi Durga dlm Hindu
HapusJelas, kalian sangatlah pejuaaaang yang berjuang keras. Saya agak kurang setuju ketika mendengar istilah ibu rumah tangga disepelekan, karena, yaaaaaaa itu pekerjaan terberat atuh :'
BalasHapusSo kl punya istri yg IRT teteup diapresiasi yaa
HapusPastinya dong, Mba :D ehe
HapusSetuju mother is master multi tasking hihihi..., kok aku salfok dengan karikaturnya yac lucu dan langsung ngena
BalasHapusSipp, realitas sehari-hari
HapusTerima kasih komennya semua, Teman-teman
BalasHapusnumpang promote ya min ^^
BalasHapusBosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*E*W*A*P*K
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)