99 Inspirasi Harian: Masuk Pesantren Itu Keren (3)
Suasana di pesantren/ Pribadi
"Yuk mondok...
Yuk mondok...
Ayo-ayo mondok
Mondok itu keren
Gak mondok gak keren"
Saya tersenyum sendiri mendengarkan lagu Despacito yang liriknya digubah menjadi cerita tentang anak pesantren. Ingatan saya kembali menyusuri lorong waktu puluhan tahun silam.
Sejak usia lulus SD saya ditawari melanjutkan sekolah ke pesantren. Namun sayang alam pikiran anak usia 11 tahun kala itu menduga-duga bahwa tinggal di pesantren adalah hal yang tidak mengenakkan.
Ditambah lagi kakek saya yang berpikiran bahwa pesantren adalah tempat membina anak-anak bandel yang tak sanggup lagi dididik orangtuanya, menjadikan saya membulatkan tekad menolak tawaran dari ayah dan bunda untuk masuk pesantren.
Meski urung masuk pesantren, kegiatan religius di rumah dan lingkungan sekitar tetap saya jalani. Sedari SD orangtua saya menyekolahkan saya di madrasah. Pagi hari mendapat pelajaran Matematika dan lain-lain di SD umum, sore harinya belajar nahwu shorof di madrasah ibtidaiyah.
Setelah maghrib waktunya mengaji Al Quran pada paman saya yang seorang qori'. Jika paman berhalangan karena jadi juri MTQ, ayah saya yang seorang ustaz menggantikan mengajari saya dan adik-adik membaca kitab suci dengan bacaan yang benar.
Selesai mengaji, makan malam, shalat Isya' dan kembali belajar. Mengerjakan PR atau sekadar membaca-baca buku pelajaran. Rasanya jadwal harian saya mirip dengan jadwal harian anak pesantren. Tak tersisa waktu untuk hal-hal yang kurang manfaatnya.
Ibu saya seorang ustazah, memiliki dua jurus belajar yang selalu saya ingat sampai kapan pun dan kini saya menurunkannya ke putra putri saya. Jurus belajar agar cepat memahami materi pelajaran dari guru. Pertama, mengulang-ulang pelajaran yang sudah diberikan hari ini. Yang kedua, mempelajari terlebih dahulu materi pelajaran esok.
Mengulang pelajaran yang baru saja diterima hari ini agar tidak lupa. Membaca pelajaran yang akan diberikan guru esok hari semacam curi start agar pada saat besok guru menerangkan, paling tidak sudah ada 'pendahuluan' di kepala. Tidak ahistoris sama sekali tentang materi baru tersebut. Alhamdulillah, dengan mempraktikkan jurus ibu kami langganan tetap jadi bintang kelas.
Lulus dari Madrasah Aliyah saya melanjutkan kuliah di UGM. Nah, di sanalah petualangan saya jadi anak pondok dimulai. Karena khawatir dengan cerita horor mengenai pergaulan bebas oknum anak-anak kos di Jogja waktu itu, ayah dan ibu saya sepakat meminta saya untuk tinggal di pondok pesantren mahasiswa di bilangan Krapyak.
Kali ini saya tak menolak. Merantau ke kota yang sama sekali asing bagi remaja 17 tahun waktu itu. Tidak ada sanak saudara yang dikenal selain kolega ayah saya.
Meski tidak mondok di usia sekolah menengah, akhirnya saya mondok juga pada saat kuliah. Ibu saya bersyukur karena saya berada di lingkungan yang bisa dikatakan terjamin aman pergaulannya. Adik-adik saya hampir semuanya masuk pesantren selepas SD.
Syukurnya, putri sulung kami bersedia masuk pesantren. Mungkin dia banyak mengetahui 'succes stories' mondok dari tante-tantenya (adik-adik saya). Sekarang ada yang sudah mencapai cita-citanya. Jadi hakim, guru dan project officer. Anggapan dahulu, menyekolahkan anak ke pesantren bukanlah pilihan utama.
Kesannya, masuk pesantren itu sama dengan masuk penjara suci. Anak-anak yang tinggal di pesantren adalah anak-anak yang tidak lulus seleksi dari sekolah yang lain. Atau memiliki akhlak yang minus. Sehingga membutuhkan penanganan khusus di dalam pesantren.
Kini persepsi demikian tak lagi melekat pada pesantren. Di pesantren tempat anak saya belajar, Ar Raudlatul Hasanah, Medan, misalnya. Dengan muatan kurikulum 100% Gontor dan peraturan yang berjalan dengan sangat ketat.
Bisa lulus seleksi masuk menjadi santri di pesantren tersebut saja adalah sesuatu yang prestisius. Peserta tes mencapai ribuan jumlahnya sementara yang diterima hanya ratusan setiap tahunnya.
Kemudian, tiap tahunnya diberlakukan sistem gugur jika santri tidak bisa memenuhi standar kualifikasi untuk kenaikan kelas. Ada Tim Supervisor yang menilai secara objektif. Ustaz dan ustazah yang masuk di kelas tidak melakukan penilaian, mungkin untuk menjaga netralitas dalam membubuhkan angka hasil ujian.
Tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ilmu agama, di pesantren juga diajarkan ketrampilan sebagai bekal hidup berdikari di masa depan. Ada ekstrakurikuler menjahit dan membordir buat santriwati, otomotif dan bertani bagi santriwan. Masih banyak lagi ekskul yang mendukung dan bisa menjadi modal keahlian di masa yang akan datang.
Kesimpulannya sama persis dengan lirik lagu Menara Band diatas. Band besutan santri-santri Pondok Modern Darussalam Gontor. Mondok itu keren, kalau gak mondok...ah masa' sih gak keren juga. Hehe.
Berikut percakapan viral di media sosial tentang lulusan pesantren:
Suatu pagi di kampus ITB,
Q: “Pak, anaknya masuk ITB?”
A: “Iya pak, alhamdulillah... Anak bapak juga?”
Q: “Iya pak, anak saya sekolah di SMA favorit di kota X, dia berhasil masuk ITB tanpa tes, saya sangat bangga dengan sekolah anak saya itu. Btw, anak Bapak dari SMA unggulan mana?”
A: “Anak saya dari pesantren, dia enam tahun tinggal di pesantren dan alhamdulillah sekarang diterima di ITB lewat jalur undangan juga.”
Q: “Lha, emang ada orang pesantren bisa masuk PTN? Bukannya orang pesantren hanya bisa kuliah di jurusan agama kaya' Tafsir Hadits gitu, di UIN atau di Mesir?”
A: “Itulah bedanya anak pesantren dengan yang tidak pesantren, anak kami bisa masuk jurusan umum apa saja di PTN, sementara anak bapak hanya masuk jurusan umum dan gak bisa masuk jurusan Ilmu Alquran, kalaupun bisa ditanggung anak bapak stress sebelum kuliah hehehe...”
Q: “Saya pikir pesantren hanya utk menjadikan anak jadi guru agama saja”
A: “Anak lulusan pesantren, bisa jadi apa saja, jadi guru, pengusaha, ilmuwan, dan profesional lainnya. Jadi semestinya tidak akan ada anak pesantren yg akan nganggur. Karena minimal dia bisa jadi imam di musalanya dan guru ngaji di kampungnya. Kelak ia akan jd imam buat keluarga dan bisa jadi washilah (jalan) pahala surga buat kedua orangtuanya karena kesalehan dan amal-amalnya. Anak bapak bisa ngaji?”
Q: “Anak saya belum bisa ngaji dan salat. Waktunya habis buat les di sekolahnya... (sedih☹)
A: “Anak bapak menguasai berapa bahasa asing?”
Q: “Hanya bisa bahasa Indonesia. Kalau anak bapak?”
A: “Alhamdulillah anak saya fasih dua bahasa asing mainstream, yaitu Inggris dan Arab”.
Q: “Oh... ternyata pesantren itu gak kuno ya pak, bahkan lebih baik dari sekolah favorit anak saya”.
A: “Alhamdulillah bapak sudah paham...”
Q: “Oya, bapak dari mana dan kerja di mana?”
A: “Saya dari Bogor, alhamdulillah pernah bekerja di perusahaan migas multinasional lebih dari 12 tahun”.
Q: “Wah mantap sekali, dulu sekolah di SMA mana?”
A: “Saya alumni Pesantren...”
Q: “Oh... di perusahaan migas bagian Kerohanian Islam ya pak?, soalnya bapak kan dr pesantren”
A: “Alhamdulillah posisi akhir saya sebelum mundur jadi orang gajian adalah sebagai Deputi Area Manager Perusahaan Migas Asing yang pegawainya orang asing juga”
Q: “Oh lulusan pesantren bisa kerja di migas juga yah?”
A: “Nah itulah lagi-lagi keunikan alumni pesantren...”
Q: “Owhhh..... (Diam tertunduk)”
#Day3
#99InspirasiHarian
#MasukPesantrenItuKeren
#Mybook
#Day149
#SehariSatuTulisan
#KLIP
Waa... Betul itu, di pesantren juga ada English Day dan juga bahasa arab kalo keceplosan pake bahasa dapet hukuman.
BalasHapusPractice makes perfect ya Ukhty... Hehe. Syukron sudah mampir dan komen.
BalasHapus