Hal Yang Disesali Saat Ini
Sumber gambar: Canva
Terkadang hidup tidak berjalan sempurna sesuai dengan yang kita impikan. Jika hidup demikian lengkapnya pertanda bukan berasa di dunia, tetapi sudah di surga. Jadi sangat manusiawi bila mengalami up dan down-nya kehidupan. Manis pahitnya kenyataan.
Ada hal yang saya sesali namun telah menjadi bagian dari takdir yang mesti dijalani dengan ikhlas. Ayah dan ibu tak akan pernah menyaksikan saya menjadi promovenda, meraih gelar doktor.
Meski mendaftar untuk studi lanjut S3 belum juga saya lakukan, saya tetap menyusun rencana untuk itu. Sebab anak yang bungsu masih 1,6 tahun, saya tak ingin melewatkan masa emas usianya.
Nah, yang saya sesali adalah, kalau suatu saat saya duduk di "kursi panas" mempertahankan disertasi, tak akan ada orang tua saya yang juga duduk dalam satu forum yang sama menyaksikan saya menggapai gelar doktor ilmu hukum.
Mereka telah lebih dahulu dipanggil Sang Pencipta Allah SWT. Ibunda wafat 5 Juli 2013 silam, ayah 1 Juni 2018. Di hari yang sama Jumat penuh berkah, di waktu yang sama, ba'da subuh.
Bedanya ibu meninggal dunia seminggu sebelum bulan puasa, ayah tepat di bulan mulia pada 16 Ramadan 1439 Hijriah, yang malamnya ada nuzulul quran. Dua sejoli saleh salehah berlian hati saya.
Saya tak ingin berpikir bahwa belum sempat rasanya membahagiakan mereka berdua. Karena Alhamdulillah saya telah melihat binar kesyukuran itu di mata keduanya. Saat saya berhasil masuk UGM, beliau berdua mengantarkan saya ke Yogya.
Saat saya wisuda S1 di Graha Sabha Pramana UGM, beliau berdua terharu. Saat saya wisuda S2 di Universitas Sumatera Utara, Medan, mereka hadir. Ibu sudah pakai kursi roda sebab tidak sanggup lagi berjalan.
Isak haru beliau begitu syahdu terdengar di seantero gedung auditorium manakala saya dipanggil ke depan sebagai wisudawati berprestasi dengan IPK 4,0.
Sebelumnya saat telah mendapatkan gelar sarjana, saya lulus CPNS dosen Kopertis (kalau sekarang namanya LLDikti). Saya juga melihat binar kebanggaan di mata mereka berdua. Saat saya memberikan cucu pertama bagi mereka. Menyematkan predikat kakek dan nenek untuk beliau berdua. Mereka tampak begitu berbahagia.
Rasanya semua pancaran kesyukuran itu masih saja kurang. Saat mereka berdua pergi haji ke tanah suci dengan uang sendiri. Saya belum bisa membantu waktu itu. Namun orang tua saya tak pernah membebani anak-anaknya. Bahkan sampai pemakamannya pun dibiayai dengan sisa gaji dan pensiunnya. Seolah-olah meninggalkan pesan bahwa almarhum dan almarhumah tidak ingin merepotkan putra-putrinya.
Itulah yang saya sesali. Rasa penyesalan belum bisa berbuat lebih banyak lagi untuk ayah dan ibu. Belum bisa mengajak jalan-jalan keluar negeri, misalnya. Paling sebatas makan di resto bersama kalau anak saya berulang tahun atau merayakan hari jadi mereka berdua.
Meskipun saya memahami, tipe orang tua saya tidaklah menjadikan materi semata sebagai tolok ukur keberhasilan anaknya. Pencapaian sekecil apapun tetap mereka sokong, dan syukuri bersama. Saya sangat bangga menjadi salah seorang anak dari mereka. Terima kasih ibu, terima kasih ayah. Semoga kelak kita akan bertemu di surga-Nya yang indah. Amin.
Salam literasi
#BPN30daychallenge2018
#bloggerperempuan
Penyesalan memang selalu diakhir ya mba, sampe skrg sy merasa blm bisa bikin ortu bangga, padahal saya ingin sekali menyenangi mereka
BalasHapusHuhu... untung ada Allah tempat bersandar. Jadi gak menyalahkan takdir. Berusaha ikhlas. Makasih sudah mampir Mba Hydriani... salam kenal ya
BalasHapusterharu euy.. maaf..maaf..
BalasHapusKoq minta maaf Za...
Hapus