26/12/2004, 07.59
Angka di kalender menunjukkan tanggal merah, 26 bulan Desember tahun 2004. Sesuai rencana, saya dan teman-teman pengajian ada jadwal rihlah bersama di Taman PDAM, Sunggal, Medan, pukul 10.00 WIB. Jam digital di HP Nokia 3315 saya memperlihatkan waktu pukul 07.59 WIB. Ah, masih ada waktu, pikir saya.
Sepekan sebelumnya, kami bersepakat akan membawa masakan masing-masing sebagai pelengkap berkumpul bareng. Saya menyiapkan soto dan pergedel. Adapun kuah sotonya setelah shalat shubuh telah saya rampungkan membuatnya. Sedangkan pergedel, masih akan mengupas kentangnya. Lebih akhir menggorengnya, agar pada saat dihidangkan di acara rekreasi nanti kondisinya masih hangat.
Saya pun menguliti kentang satu persatu. Sampai kentang ketiga, saya merasakan kursi makan yang saya duduki bergoyang. Ah, darah rendah saya kambuh lagikah? Saya memang pernah mengidap hipotensi. Kepala terasa pening, berkunang-kunang, jika sedang duduk lalu tiba-tiba langsung berdiri.
Ibu saya yang waktu itu berada di ruang tengah, setengah berlari menghampiri, "Kaya'nya ada gempa!" Lalu ayah yang sedang tidur-tiduran di kamar, mumpung hari Minggu, waktunya sedikit bersantai, spontan berkumpul bersama kami. "Subhanallah, gempa!! Ayo kita keluar!".
Adik laki-laki saya yang sedang mencuci sepeda motornya di halaman, refleks menghentikan kegiatannya. Demikian pula adik-adik perempuan saya yang sebelumnya beres-beres di kamar, berlarian ke beranda rumah, panik.
Terdengar pengumuman dari pengeras suara di mesjid blok lima, dekat rumah kami, mesjid Baitul Ikhwan, suara nazir yang menyampaikan pada warga agar tetap tenang. Terjadi gempa bumi yang episentrumnya di dekat Pulau Simeuleu, Provinsi Aceh.
Setelah gempa mereda kami pun masuk kembali ke dalam rumah, berharap memperoleh informasi dari televisi. Dan benar saja, ternyata telah terjadi bencana paling dahsyat sepanjang sejarah di Aceh. Gempa bumi dan tsunami. Beberapa menit setelah gempa, datang air bergulung-gulung menyapu dan meluluhlantakkan pantai barat Sumatera, termasuk kota Banda Aceh.
Menurut sumber korban selamat, tingginya gelombang raksasa yang menerjang rumah-rumah penduduk itu, setinggi pohon kelapa. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Dilansir oleh berbagai media, jumlah korban meninggal akibat bencana gempa dan tsunami pada hari itu mencapai 280 ribu jiwa yang tersebar sampai ke-14 negara. Rabbi, betapa kami, manusia ini, hanyalah sebutir debu yang amat sangat lemah di alam semesta ini.
Alangkah banyak mendengar kabar dari kawan-kawan Aceh yang kehilangan keluarga, sanak saudara dan handai taulan. Gempa dan tsunami memisahkan mereka dari orang-orang tercinta. Tak sanggup rasanya menonton berita evakuasi korban di TV. Hanya sumbangan dan pakaian layak pakai serta doa-doalah yang bisa dikerahkan untuk para korban selamat. Doa agar mereka yang mengalami langsung diberi kekuatan dan ketabahan menjalani takdir-Nya. Meski sungguh sakit namun manusia tak layak menyimpulkan bahwa takdir memang kejam. Usia manusia telah ditetapkan di lauhul mahfuz jauh sebelum orang tersebut dilahirkan.
Semua potret kenangan kesedihan di bencana tsunami terabadikan di Museum Tsunami, Banda Aceh. Alhamdulillah, Februari 2015 lalu saya dan keluarga diajak jalan-jalan oleh koleganya suami, Bapak Said Safnizar dan istri, Ibu Ida Meutiawati. Ada aura kesedihan ketika memasuki museum. Ada duka yang terpancarkan dari susunan nama-nama korban tsunami yang terpampang di sumur doa dalam museum. Terdapat puluhan prasasti, ratusan foto dan diorama sebagai penanda luar biasanya tragedi tsunami.
Nanggroe Aceh tak sendiri, saudara sebangsa dan setanah air bahkan bantuan kemanusiaan dari luar negeri berdatangan ke bumi serambi Mekah, sebagai bukti solidaritas sesama umat manusia. Kental terasa rasa persatuan dan kesatuan pascabencana. Seolah malapetaka dari alam itu mengingatkan manusia agar senantiasa berbuat baik di atas muka bumi.
Bencana menjadi pengingat untuk selalu menebar kebajikan dan meminimalisasi kemaksiatan. Karena bagaimana sedikitnya jumlah orang yang berbuat jahat, ia tetap berpotensi mengundang bencana. Dan yang terkena imbas bencana tidak hanya pemaksiat, namun seluruh manusia.
Setelah gempa mereda kami pun masuk kembali ke dalam rumah, berharap memperoleh informasi dari televisi. Dan benar saja, ternyata telah terjadi bencana paling dahsyat sepanjang sejarah di Aceh. Gempa bumi dan tsunami. Beberapa menit setelah gempa, datang air bergulung-gulung menyapu dan meluluhlantakkan pantai barat Sumatera, termasuk kota Banda Aceh.
Menurut sumber korban selamat, tingginya gelombang raksasa yang menerjang rumah-rumah penduduk itu, setinggi pohon kelapa. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Dilansir oleh berbagai media, jumlah korban meninggal akibat bencana gempa dan tsunami pada hari itu mencapai 280 ribu jiwa yang tersebar sampai ke-14 negara. Rabbi, betapa kami, manusia ini, hanyalah sebutir debu yang amat sangat lemah di alam semesta ini.
Alangkah banyak mendengar kabar dari kawan-kawan Aceh yang kehilangan keluarga, sanak saudara dan handai taulan. Gempa dan tsunami memisahkan mereka dari orang-orang tercinta. Tak sanggup rasanya menonton berita evakuasi korban di TV. Hanya sumbangan dan pakaian layak pakai serta doa-doalah yang bisa dikerahkan untuk para korban selamat. Doa agar mereka yang mengalami langsung diberi kekuatan dan ketabahan menjalani takdir-Nya. Meski sungguh sakit namun manusia tak layak menyimpulkan bahwa takdir memang kejam. Usia manusia telah ditetapkan di lauhul mahfuz jauh sebelum orang tersebut dilahirkan.
Semua potret kenangan kesedihan di bencana tsunami terabadikan di Museum Tsunami, Banda Aceh. Alhamdulillah, Februari 2015 lalu saya dan keluarga diajak jalan-jalan oleh koleganya suami, Bapak Said Safnizar dan istri, Ibu Ida Meutiawati. Ada aura kesedihan ketika memasuki museum. Ada duka yang terpancarkan dari susunan nama-nama korban tsunami yang terpampang di sumur doa dalam museum. Terdapat puluhan prasasti, ratusan foto dan diorama sebagai penanda luar biasanya tragedi tsunami.
Nanggroe Aceh tak sendiri, saudara sebangsa dan setanah air bahkan bantuan kemanusiaan dari luar negeri berdatangan ke bumi serambi Mekah, sebagai bukti solidaritas sesama umat manusia. Kental terasa rasa persatuan dan kesatuan pascabencana. Seolah malapetaka dari alam itu mengingatkan manusia agar senantiasa berbuat baik di atas muka bumi.
Bencana menjadi pengingat untuk selalu menebar kebajikan dan meminimalisasi kemaksiatan. Karena bagaimana sedikitnya jumlah orang yang berbuat jahat, ia tetap berpotensi mengundang bencana. Dan yang terkena imbas bencana tidak hanya pemaksiat, namun seluruh manusia.
Posting Komentar untuk "26/12/2004, 07.59"
Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.