❤ Muhasabah Cinta Kita (Part 13) ❤
Katanya, ulang tahun pernikahan ke-13 lambangnya renda (lace). Yang saya tahu renda itu selain indah dan sering dijadikan hiasan, bahannya sudah lebih kuat dari kain biasa.
Tak mudah robek apalagi hancur. Ia hanya bisa rusak jika digunting atau dibakar. Saya juga tak memaksa harus sama dan berusaha menghubung-hubungkannya.
Yang jelas, bersama pria yang saya panggil suami itu, saya tenang. Meski sampai saat ini kami masih terpisahkan jarak di hari kerja. Lalu bertemu di akhir minggu. Tak mengapa karena "lapak" tempatnya mencari nafkah untuk kami, masih di luar kota.
Justru suatu hal yang disyukuri ditempatkan di kota yang berjarak beberapa jam saja dari rumah.
Bersamanya saya belajar banyak hal. Belajar jadi dewasa, berusaha jadi bijak (walaupun sampai sekarang rasanya belum bijak-bijak juga, haha).
Saya yang dulunya fans berat majalah Annida (Majalah Ummi juga sampai sekarang, yang versi daring), sering memimpikan pernikahan romantis dan happy ending ala ala cerpen/novel Ifa Avianty dkk.
Kalaupun saya tersadarkan bahwa berumahtangga itu tak melulu soal romantisme, itu baru-baru saja. Hehe.
Bersamanya tiga belas tahun, membuat saya belajar berpikir lebih logis. Bahwa ada hal-hal yang lebih besar selain urusan kami berdua.
Bersamanya mendiskusikan cita-cita, rasanya egois bila saya terus saja menyuarakan tentang keinginan saya saat ini. Segera lanjut ke jenjang doktor.
Ia mengetuk nurani saya, lantas hari-hari apakah setelahnya. Hari-hari dengan lelah yang tak berujung bersama gelombang mainstream.
Sesudahnya pasti akan diminta terus dan terus berpacu di jalur sibuk, tanpa henti. Berkompetisi di urusan jenuh yang nyaris tak berbatas.
Berlomba memunguti angka kredit, mengejar gelar profesor. Berhentikah? Tidak. Berkonferensi kesana kemari. Cukup? Belum. Masih banyak lagi.
Bersamanya saya juga perlahan-lahan belajar untuk mampu mengalah sementara demi prioritas yang lebih tinggi. Demi cita-cita berdua, demi impian bersama.
Bersamanya saya menjaga dan membesarkan keempat buah hati titipan Allah. Melihat bara semangatnya menuntun putra putri kami menjadi anak yang shalih shalihah, saya meluluh.
Sampai hatikah saya menekuri bidang saya sendirian, merengkuh karir, menyempurnakan gelar. Dengan atau tanpa keridhaannya.
Sementara ia dengan segenap hatinya menyambut uluran tangan-tangan kecil itu. Mengarahkan dan membimbing mereka dengan seluruh jiwa dan kasih sayang yang dimiliki ke jalan yang diridhai-Nya.
InsyaAllah kita antarkan bersama satu demi satu anak-anak kita memasuki gerbang pendidikannya. Demikian kalimatnya dan mata saya terasa dipenuhi bulir bening yang nyaris jatuh.
Ada rasa haru menyesaki dada. Ucapan yang sungguh-sungguh, disampaikan dengan yakin, mengapa jadi amat sangat mengena di hati.
Bersamanya tiga belas tahun terakhir ini dan insyaAllah tahun-tahun depannya bila kami dikaruniai umur panjang, saya merasakan tentram. Alhamdulillah.
Sumber foto: Google
Tak mudah robek apalagi hancur. Ia hanya bisa rusak jika digunting atau dibakar. Saya juga tak memaksa harus sama dan berusaha menghubung-hubungkannya.
Yang jelas, bersama pria yang saya panggil suami itu, saya tenang. Meski sampai saat ini kami masih terpisahkan jarak di hari kerja. Lalu bertemu di akhir minggu. Tak mengapa karena "lapak" tempatnya mencari nafkah untuk kami, masih di luar kota.
Justru suatu hal yang disyukuri ditempatkan di kota yang berjarak beberapa jam saja dari rumah.
Bersamanya saya belajar banyak hal. Belajar jadi dewasa, berusaha jadi bijak (walaupun sampai sekarang rasanya belum bijak-bijak juga, haha).
Saya yang dulunya fans berat majalah Annida (Majalah Ummi juga sampai sekarang, yang versi daring), sering memimpikan pernikahan romantis dan happy ending ala ala cerpen/novel Ifa Avianty dkk.
Kalaupun saya tersadarkan bahwa berumahtangga itu tak melulu soal romantisme, itu baru-baru saja. Hehe.
Bersamanya tiga belas tahun, membuat saya belajar berpikir lebih logis. Bahwa ada hal-hal yang lebih besar selain urusan kami berdua.
Bersamanya mendiskusikan cita-cita, rasanya egois bila saya terus saja menyuarakan tentang keinginan saya saat ini. Segera lanjut ke jenjang doktor.
Ia mengetuk nurani saya, lantas hari-hari apakah setelahnya. Hari-hari dengan lelah yang tak berujung bersama gelombang mainstream.
Sesudahnya pasti akan diminta terus dan terus berpacu di jalur sibuk, tanpa henti. Berkompetisi di urusan jenuh yang nyaris tak berbatas.
Berlomba memunguti angka kredit, mengejar gelar profesor. Berhentikah? Tidak. Berkonferensi kesana kemari. Cukup? Belum. Masih banyak lagi.
Bersamanya saya juga perlahan-lahan belajar untuk mampu mengalah sementara demi prioritas yang lebih tinggi. Demi cita-cita berdua, demi impian bersama.
Bersamanya saya menjaga dan membesarkan keempat buah hati titipan Allah. Melihat bara semangatnya menuntun putra putri kami menjadi anak yang shalih shalihah, saya meluluh.
Sampai hatikah saya menekuri bidang saya sendirian, merengkuh karir, menyempurnakan gelar. Dengan atau tanpa keridhaannya.
Sementara ia dengan segenap hatinya menyambut uluran tangan-tangan kecil itu. Mengarahkan dan membimbing mereka dengan seluruh jiwa dan kasih sayang yang dimiliki ke jalan yang diridhai-Nya.
InsyaAllah kita antarkan bersama satu demi satu anak-anak kita memasuki gerbang pendidikannya. Demikian kalimatnya dan mata saya terasa dipenuhi bulir bening yang nyaris jatuh.
Ada rasa haru menyesaki dada. Ucapan yang sungguh-sungguh, disampaikan dengan yakin, mengapa jadi amat sangat mengena di hati.
Bersamanya tiga belas tahun terakhir ini dan insyaAllah tahun-tahun depannya bila kami dikaruniai umur panjang, saya merasakan tentram. Alhamdulillah.
Sumber foto: Google
Posting Komentar untuk "❤ Muhasabah Cinta Kita (Part 13) ❤"
Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.