Andaikan Tak Ada Aturan
Libur akhir pekan kemarin, kami (saya dan suami)
mengunjungi anak sulung yang bersekolah di pesantren, masih di kota yang sama
dengan tempat tinggal kami. Tampak halaman pesantren bersih, tidak ada sampah
berserakan, taman-taman kecil yang rapi dan kendaraan di area perparkiran
tertata dengan baik. Baru memandangnya saja saya sudah merasa nyaman, apalagi
anak saya dan teman-temannya yang menetap di sini setiap harinya. Mudah-mudahan
mereka betah menuntut ilmu di sini, demikian harapan saya.
Sekali waktu kami datang lagi, putri saya ingin permisi
pulang karena merindukan suasana di rumah. Suami saya pun mendampinginya ke
bagian pengasuhan, kantor untuk memperoleh izin pulang dari pesantren.
Sesampainya di sana, Ustadzah Pengasuhan tidak mengabulkan permintaan anak
saya, alasannya izin hanya diberikan bila keadaan darurat. Pesantren ini memang
dikenal dengan disiplinnya yang tinggi. Seketika putri saya menangis. Sedih
karena tak bisa tidur ‘kruntelan’ dengan kami. Tidak bisa mengobati home sick-nya. Sebal dengan peraturan
pesantren yang terlampau ketat katanya. Saya lantas menghiburnya.
Saya katakan seandainya tidak ada peraturan yang
diberlakukan di pesantren ini coba bayangkan apa yang akan terjadi. Kelas-kelas
akan kosong, kamar-kamar asrama menjadi sepi, kegiatan di dalam kompleks
pesantren menjadi kurang semarak akibat para santri permisi pulang. Sesampainya
di rumah apa yang akan dilakukan? Menonton televisi berjam-jam dan memainkan
tablet tanpa kenal waktu. Dua aktivitas ini adalah kegiatan yang menjadi momok
bagi anak-anak dan remaja. Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar
menambah ilmu pengetahuan, akhirnya terbuang sia-sia begitu saja.
Peraturan dibuat bukanlah untuk ditakuti tapi diikuti. Mengapa
peraturan diperlukan? Aturan adalah tataan, petunjuk, kaidah,
ketentuan, yang dibuat untuk mengatur. Bila
tidak terdapat tataan sudah bisa dipastikan keadaan suatu kelompok masyarakat
akan karut marut, kacau balau. Yang kuat mendominasi yang lemah. Berlakulah
hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menjadi raja dengan kekuasaan tanpa
batas. Sedangkan yang lemah akan terus-terusan ditindas dan semakin tak berdaya
di bawah kaki si berkuasa.
Tata tertib pesantren menegaskan bahwa wali santri
dilarang masuk ke kamar anaknya. Disediakan kukhun
(bahasa Arab pondok; saung; seperti gazebo) untuk tempat pertemuan wali santri
dan anak-anaknya. Sehingga area kamar steril dari tamu/pengunjung. Harapannya,
agar para santri bisa dilatih mandiri, mengurus keperluannya sendiri tanpa
bantuan dari orangtuanya. Ibu-ibu wali santri itu, jika dibebaskan keluar masuk
kamar pasti akan tak beraturan. Ada yang membantu anaknya menyusun roster
pelajaran, mencucikan baju, menyetrika mukena dan menggantikan putrinya piket. Tentu
saja hal ini akan mengganggu didikan kemandirian yang susah payah ditanamkan
pihak pesantren. Jadi, berterima kasih dan taatilah peraturan. Cemberut di wajah putri saya berangsur-angsur menghilang berganti dengan senyum yang dikulum. Lanjutkan perjuanganmu, Nak. Jalanmu masih amat sangat panjang.
Salam literasi
Sumber foto: dok. pribadi
Posting Komentar untuk "Andaikan Tak Ada Aturan"
Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.