Behind The Story: Persalinanku yang Keempat
Tulisan ini saya buat saat Rausyan,
si bayi berusia 73 hari. Ia tengah terlelap tidur di ayunan dan saya masih
memiliki waktu beberapa minggu lagi untuk masuk kembali mengajar. Rausyan
selisih enam tahun dari kakaknya, Ririn. Waktu Ririn lahir pada masa-masa nifas
saya menyempatkan diri untuk menuliskan kenangan proses melahirkannya di bagian
‘notes’ Facebook. Judul yang sama
persis dengan yang sekarang, hanya saja waktu Ririn lahir saya tulis Behind The Story: Persalinanku yang
Ketiga. Saya tidak bermaksud menimbulkan kesan bahwa persalinan normal lebih
baik daripada Sectio Caesaria (SC).
Sama sekali tidak, dan tidak ada gunanya berpolemik tentang hal itu. Baik
melahirkan secara normal maupun secara SC, keduanya sama sakitnya. Sama-sama
sebuah bukti pengorbanan seorang ibu melahirkan buah hati sang cahaya mata. Menurut
saya, tak layak seorang ibu sampai hati “memamerkan” caranya melahirkan dengan
tujuan membanggakan diri. Semua yang terjadi adalah takdir dari Allah, yang
harus dijalani setelah sempurnanya ikhtiar yang selalu diiringi doa-doa.
Entah apa yang bergejolak dalam
pikiran saya sehingga berkeinginan kembali memiliki anak. Meski suami
menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk hamil lagi kepada saya. Suami maklum
sekali dengan kondisi kami yang jarang memakai jasa Asisten Rumah Tangga (ART)
karena sangat sulit mencari orang yang amanah. Suami kasihan melihat saya yang
harus benar-benar membagi waktu antara jadwal mengajar yang sangat padat,
mengurus keperluan sekolah anak-anak, dan membereskan rumah. Sementara dia
masih harus bekerja di luar kota, belum saatnya untuk mutasi kembali lagi ke
kota asal kami ini.
Pada dasarnya keinginan untuk hamil
lagi itu karena niat awal kami menikah ingin memiliki banyak anak. Namun
belakangan mungkin juga karena terpengaruh dengan adik-adik saya yang sering
memosting kelucuan balitanya di media sosial, teman-teman yang sedang
bahagia-bahagianya momong bayi dan karena anak kami sudah tiga orang meski
berbeda-beda jenis kelamin, tetapi rasanya kurang seorang lagi agar genap menjadi
dua pasang. Dua perempuan dan dua laki-laki. Dengan catatan, jika Allah
berkehendak. Kalaupun diberikan perempuan lagi insyaAllah kami tetap bersyukur
karena setiap anak adalah anugerah yang Allah hadiahkan bagi orangtuanya.
Beberapa waktu sebelum muncul
kembali keinginan punya anak lagi, saya mengikuti salah satu jenis diet yang
familiar di kalangan penggemar diet. Meski arti diet adalah pengaturan pola
makan, baik porsi, ukuran maupun kandungan gizinya. Makna diet sudah kadung
diasosiasikan pada penurunan berat badan. Alhamdulillah diet saya berhasil.
Berat badan saya turun sampai enam kilogram dalam waktu kurang lebih setengah
bulan saja. Rasanya tubuh saya semakin ringan dan berenergi. Biasanya kalau
sudah kembali ke berat badan normal insyaAllah saya lebih cepat positif hamil.
Kalau saya dalam kondisi terlalu kurus atau terlalu gemuk, akan lama positif hamilnya.
Setelah niat benar-benar bulat,
ternyata tanda strip dua belum juga tampak di test pack. Beberapa kali membeli alat pengetes kehamilan itu,
hasilnya tetap satu garis. Sampai saya dan suami berpikir, sudahlah mungkin
titipan yang Allah berikan cukup tiga orang anak saja. Semoga kita bisa
menjaganya, mendidik mereka menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Dari
anak pertama sampai ketiga kami belum pernah mengalami sampai membeli test pack berkali-kali seperti ini. Saya
jadi bisa merasakan empati dan merenungi beginilah rasanya saudara-saudara dan
teman-teman yang sangat berharap memiliki momongan tetapi belum dikasih.
Rasanya sedih, hampir putus asa, namun karena menyandarkan diri hanya pada
Allah SWT, pasrah sebenar-benarnya pasrah, maka hidup ini masih bisa dijalani
lagi seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa.
September 2016 saya merasakan ada
perbedaan dalam diri saya. Mengapa sudah sebulan lebih belum haid juga. Ah,
mungkin saya lelah. Semua pekerjaan dikerjakan sendiri dan jadwal mengajar dari
pagi sampai sore bahkan ada kelas malam seminggu sekali. Emosi juga naik turun,
Premenstrual Syndrom (PMS), sebuah
sindrom perubahan fisik dan emosional pada perempuan yang masih menjalani
siklus haid. Biasalah, saya pikir. Iseng-iseng setelah sholat shubuh saya tes
pakai stok test pack yang tersedia
dan saya kaget bercampur haru. Saya positif hamil! Sejak bulan Maret
pembicaraan kami tentang ingin punya anak lagi dan baru dikabulkan enam bulan
kemudian. Suami tersenyum. Saya tahu itu adalah senyum kesyukuran.
Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Saya bersyukur meski ada sedikit was-was
mengingat usia saya sudah genap 35 tahun. Dunia kedokteran menilai 35 tahun
adalah usia deadline melahirkan.
Diatasnya, tergolong high risk pregnancy.
Ah, tak mengapa. Temannya temanku yang tinggal di luar negeri, hamil anak ke-11
di usia 45 tahun! Dia tetap sehat-sehat saja tuh.
Bagi saya kehamilan kali ini adalah
yang terberat. Ketiga anak sebelumnya hanya saat kehamilan si sulung saya
mengalami morning sickness. Mual
muntah di pagi hari, kepala sering pusing, rasanya selalu ingin berbaring di
tempat tidur. Namun sayang jadwal saya lagi padat-padatnya. Seharian di kampus.
Pagi ada dua kelas, sore satu kelas. Atau siang sampai sore dua kelas dan
paginya satu kelas. Pernah juga pagi dan sore sama-sama dua kelas. Bayangkan,
mengajar di empat kelas dalam sehari. Untungnya pengajaran di perguruan tinggi menggunakan
proses belajar andragogi, proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke dalam
suatu struktur pengalaman belajar. Dari Ristekdikti juga sudah beberapa tahun
belakangan ini menggaungkan Student
Centred Learning (SCL), pendekatan pembelajaran yang menekankan pada
keaktifan peserta didik. Tidak lagi didominasi gaya-gaya mengajar zaman dulu
yang full ceramah. Kalau pakai metode
berceramah saja dalam memberikan kuliah, dan harus masuk di banyak kelas, bisa
diprediksi suara dosen pun hilang tak terdengar, parau atau serak serak basah.
Pulang ke rumah dalam keadaan lelah,
gaya berjalan sudah mirip zombie, tak
langsung membuat saya bisa seketika merebahkan diri seenaknya di kamar tidur.
Rumah yang berantakan minta dibenahi, masakan yang perlu dihangatkan untuk
makan malam, atau dimasak lagi kalau makanan sudah habis. Tapi biasanya pada
pagi hari saya memasak menu yang bisa
sekalian dikonsumsi untuk makan malam. Dan yang paling penting, anak-anak yang
meminta haknya dari saya. Hak untuk diperhatikan. Menanyakan tentang sekolah
masing-masing, ada PR atau tidak, adakah masalah dengan teman dan sebagainya.
Biasanya saya tak sampai menanyai, satu per satu mereka akan
mengomunikasikannya sendiri. Sambil kami bercakap-cakap tangan saya tidak
menganggur. Ada saja yang dikerjakan. Melipati pakaian, mengelap meja makan,
dan membereskan kembali tempat tidur untuk persiapan istirahat. Semua pekerjaan
rumah tangga itu tidak saya borong sendiri. Saya juga meminta si kakak, putri
sulung, membantu mencuci piring, dan si abang, anak kedua, menyapu ruang makan.
Kalau si adik selalu mengikuti saya kemana-mana, saat saya hamil dia masih saja
minta disuapi makan. Setelah punya adik barulah dia malu sendiri dan mencoba
makan sendiri.
Begitulah hari-hari saya. Baru makan
dua suap nasi rasanya perut tidak menerima. Saya pun setengah berlari ke kamar
mandi dan mengeluarkan semua isi perut. Lapar tapi tidak berselera untuk makan.
Saat akhir pekan adalah waktu yang saya tunggu-tunggu. Saat itu suami pulang
dan dia bisa membelikan saya makanan yang disuka. Kalau beli sendiri keburu
terbang selera makan saya. Pernah saya ingin sekali makan martabak telur. Saya dan
si nomor tiga bersemangat mendatangi warungnya. Tak begitu jauh, hanya beda
satu jalan saja dengan jalan rumah kami. Saya mengendarai motor matic agar
cepat sampai. Kondisi pemukiman yang padat ditambah jalanan yang macet akan
semakin menambah suntuk kalau saya menggunakan mobil. Sementara kalau berjalan
kaki jaraknya lumayan jauh. Ternyata sampai sana harus antri karena ada tiga
orang pembeli sebelum saya. Ingin kembali pulang tapi masih mau makan martabak
itu, tetap di antrian konsekuensinya waktu memesan jadi lama. Saya memilih opsi
terakhir saking inginnya. Martabak pesanan saya sudah jadi. Kami pun membawanya
pulang. Apa yang terjadi? Sesampainya di rumah saya malah kehilangan selera
memakannya. Rasanya keinginan memuaskan hati makan martabak lenyap dikalahkan
dengan rasa capek mengantri dan pulang pergi membelinya.
Unik ya ibu hamil ini. Pada saat
hamil muda bentuk tubuhnya biasa saja dari luar belum kelihatan seperti ibu
hamil, namun gejolak yang dirasakan di dalam diri sungguh luar biasa. Morning sickness, moody, emosi dan
lain-lain. Tetapi pada saat hamil tua, perasaannya biasa saja, sama seperti
wanita yang tidak sedang hamil, namun tampak luarnya sudah seperti anggota marching band pemegang bass. Melendung.
Mungkin demikian cara Allah menjaganya agar tetap seimbang. Walaupun ada juga
kondisi pada ibu hamil yang perutnya sudah besar ditambah lagi masih mual
muntah dan tampak stress. Hamil tua rasanya keadaan mulai membaik. Tidak ada
masalah mengenai makan. Mual muntah sudah berkurang. Kunjungan ke Dokter
Spesialis Obgyn (DSOG) dekat rumah semakin meningkat frekuensinya. Kehamilan
sampai dengan 7 bulan periksa setiap 3-4 minggu. Kehamilan 7 sampai dengan 8
bulan kami datang ke dokter setiap dua minggu. Dan kehamilan 8 bulan sampai
mendekati TPP (Tanggal Perkiraan Persalinan), periksa setiap satu minggu.
Alhamdulillah selama pemeriksaan tidak ada masalah. Tidak ada kelainan pada
janin, Denyut Jantung Janin (DJJ) normal, volume air ketuban baik, letak
ari-ari di atas, dan kemungkinan bisa melahirkan secara normal.
Jenis kelamin belum juga
kelihatan. Padahal ini sudah memasuki usia delapan bulan. Dua minggu lalu DSOG
mengatakan kalau jenis kelamin tidak kelihatan karena si janin mengatupkan
kedua pahanya. Ah, Nak..mungkin pemeriksaan sekali lagi sebelum TPP jenis
kelaminnya sudah bisa diketahui. Begitulah harapan kami. Saya baru ingat suatu
cara membujuk janin agar menunjukkan jenis kelaminnya. Diajak berkomunikasi.
Mengapa saya lupa ya. Padahal waktu hamil Ririn enam tahun yang lalu saya
sering melakukannya. Usia kehamilan lima bulan, kami sudah melihat di USG bahwa
anak ketiga kami perempuan. Salah satu kegunaan melihat jenis kelamin adalah
kita bisa mempersiapkan pakaian dan perlengkapan si bayi baru lahir sedini
mungkin. Biasanya warna pink untuk
perlengkapan baby girl dan biru untuk si baby boy. Kalau sudah dekat TPP baru tahu, si ibu sudah susah untuk
berbelanja dengan lincah ke sana kemari. Kami sepakat untuk membeli perlengkapan bayi
berwarna hijau muda. Agar netral, karena belum tahu jenis kelamin si calon
bayi. Kondisi tubuh yang mudah lelah dan kaki yang harus menahan beban badan
yang bertambah berat juga berpengaruh pada saat melengkapi persiapan
melahirkan.
Saya ajak ngomong si janin setiap
hari. Saya katakan kalau kami semua sudah lama merindukannya. “Nanti di depan
DSOG tolong tunjukkan adik itu laki-laki atau perempuan ya, Sayang”. Suami juga
mengelus-elus perut buncit saya. Kami ikhlas seikhlas-ikhlasnya apapun jenis
kelamin pemberian dari Allah. Lupakan sejenak keinginan untuk memiliki dua
pasang anak. Kalaupun yang lahir bayi perempuan lagi. Kami menerimanya dengan
penuh rasa syukur. Bertambah lagi yang akan membantu ibunya di dapur, teman seru-seruan
hang out bersama si kakak dan si adik
nantinya. Pemeriksaan terakhir kali sebelum TPP pun dilakukan. DSOG sampai
mengatakan kalau dia sendiri pun penasaran dengan jenis kelamin janin yang saya
kandung. Karena sudah beberapa kali diceknya belum juga kelihatan. “Pak, Bu,
anak-anak sebelumnya apa saja jenis kelaminnya?” dokter bertanya dengan mimik
wajah serius. Saya jadi makin deg-degan. Suami menjawab,”Anak pertama
perempuan, Dok.. yang kedua laki-laki dan yang ketiga perempuan”. Menurut
istilah Jawa urutan anak-anak seperti kami namanya “gilir kacang”, anak-anak
yang lahirnya bergiliran antara laki-laki dan perempuan. Waktu membawa
imunisasi DPT 1 anak ketiga enam tahun yang silam, ibu dokternya mengatakan
kepada saya demikian. “Tambah saja lagi anaknya Bu..biar sekalian dua pasang.
Ini namanya gilir kacang, orang Jawa bilang”. Waktu itu saya hanya senyam
senyum karena masih ikut program KB implan. Baru sekali inilah saya ikut KB.
Kami pikir memiliki tiga anak sudah cukuplah. Tak pernah terpikir enam tahun
kemudian lahir anak keempat. Ririn terlanjur sudah biasa disapa “adek”. Sudah
enam tahun pula dia jadi anak bungsu.
“Selamat ya Pak..Bu.. kayaknya jadi
nih punya anak dua pasang” tiba-tiba dokter memecah kesunyian dengan
pernyataannya itu. “Ini skrotum-nya (kantung yang membungkus testis atau buah zakar pada
laki-laki) dan gak akan berubah lagi,
kalau dihitung dari Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT), minggu depan insyaAllah
lahir, nanti saya jelaskan opsi-opsinya, usia plasenta sudah masuk grade tiga ya”. Alhamdulillah seruku
dalam hati. Kulirik suami yang raut mukanya berseri-seri. Saya tahu hatinya
bernyanyi. Meski tak pernah diungkapkannya kepada saya tentang kerinduan
menambah lagi anak laki-laki kami. Royyan, si putra kedua akan memiliki adik
laki-laki. Kelak, bertambah lagi teman ayahnya pergi sholat Jum’at, mengganti
kran yang patah, mencuci mobil dan mengangkat galon air isi ulang.
Tibalah hari itu. TPP. Minggu, 28 Mei 2017. Belum ada rasa mulas.
Saya masih beraktivitas seperti biasanya. Syukurlah jelang seminggu lahiran akhirnya
ada kerabat yang bersedia bantu-bantu di rumah. Sampai saya sehat kembali. InsyaAllah
kami akan terus berikhtiar mencari ART yang bisa seterusnya membantu di rumah
terutama pada saat saya sudah habis cuti dan kembali mengajar di kampus. Di
sesi akhir check up oleh DSOG tempo
hari, dokter memberikan tiga opsi persiapan untuk saya menghadapi kondisi
darurat melahirkan. Pertama, tetap ditunggu mules-mules dan sakitnya sampai TPP
tanggal 28. Jika belum merasakan sakit kontraksi pembukaan jalan lahir dan
lewat dari TPP maka beralih ke opsi kedua, saya tetap datang ke RS tempat DSOG
berpraktik untuk dilakukan proses perangsangan pada kelahiran. Jika dinilai
dokter opsi kedua tidak berhasil maka opsi terakhir harus mau saya jalani yaitu
SC. Normal atau SC bagi kami tidak masalah. Itu hanya metode, yang penting ibu
dan bayi selamat dan sehat. Meski kelahiran ketiga anak kami sebelumnya normal
semua. Kami menyambut positif semua opsi dari DSOG. Serahkan saja pada ahlinya.
InsyaAllah selamat dan aman. Kami pun menunggu datangnya kontraksi dengan banyak-banyak
berdoa meski tetap diiringi perasaan harap-harap cemas.
TPP berlalu begitu saja tanpa kontraksi yang berarti. Muncul rasa
sakit tetapi sangat sedikit dengan frekuensi yang tidak teratur jaraknya.
Mengingat advis DSOG, H+1 kami pun mendatangi RS. Opsi yang kedua. Sebenarnya
mendengar kata “dirangsang” saja saya sudah bergidik ngeri. Enam tahun yang
lalu saya melahirkan di klinik dengan ibu bidan senior, saat pembukaan jalan
lahir mencapai enam cm, si janin berhenti bergerak. Mager atau malas gerak istilah kekiniannya. Belakangan saya baca
dari media online, bisa jadi si janin malah tertidur. Aduh Dek, bisa-bisanya
kamu tertidur di waktu-waktu perjuangan kita! Anak ketiga dulu kehamilan saya post mateur satu minggu, bidan mengambil
keputusan untuk mempercepat proses kelahiran dengan menginduksi saya. Itu juga
ditunggu sampai bukaannya enam cm, karena kata Bu Bidan terlalu sakit kalau
bukaan dini sudah diinduksi. Dari proses kelahiran anak ketiga itulah yang
membuat saya ‘kapok’ melahirkan sampai ikut program KB segala. Namun saat
jelang kelahiran anak keempat seperti ini, saya melupakan rasa sakitnya
diinduksi itu. Induksi adalah proses untuk merangsang kontraksi rahim sebelum
kontraksi alami terjadi dengan tujuan mempercepat proses persalinan. Induksi
bisa dilakukan dengan kondisi-kondisi tertentu termasuk jika kehamilan telah
lewat waktu. Sebenarnya DSOG mengatakan juga kalau setelah lewat TPP, masih
bisa ditunggu lahir alami dua minggu kemudian. Tetapi berdasarkan cek terakhir,
plasenta sudah menua dan sewaktu-waktu dapat terlepas dari janin, kemungkinan
terburuk bisa saja terjadi, apalagi kehamilan lewat waktu menimbulkan risiko
komplikasi pada bayi. Mekonium atau tinja bayi jika tertelan dapat menyebabkan
gangguan pernafasan atau infeksi paru-paru pada bayi. Untuk menghindari risiko
tersebut diperlukan induksi untuk mempercepat proses persalinan.
Sesampainya di RS, langsung dilakukan pemeriksaan dalam pada saya.
Ternyata masih pembukaan satu. Masih panjang perjalanan menuju pembukaan jalan
lahir lengkap 10 cm. Saya didampingi suami sementara ketiga anak kami di rumah
bersama saudara sepupu. Saya bersyukur untuk keempat kalinya suami menjadi
pendamping persalinan saya. Meski ia bekerja di luar kota namun niat dan tekad
yang kuat ingin menyambut kelahiran putra-putrinya membuat semuanya seakan
dimudahkan. Mestakung, semesta mendukung. Atasannya mengizinkannya permisi
tidak masuk di hari Senin. Dokter bertanya pada kami, apakah tetap ingin
melahirkan secara normal dengan induksi atau langsung SC saja. Kami diberi
waktu untuk berpikir. Suami memegang tanganku, ”Umi gimana.. kalau Umi mau
langsung SC aja, silahkan.. kalau Ayah terserah Umi aja, apapun itu yang
penting yang terbaik untuk Umi.” Saya terdiam. Berpikir. Terbayang pasca
lahiran jika belum dapat ART, masih Long
Distance Marriage (LDM) sama suami, terkadang galon air minum habis,
terpaksa saya angkat sendiri, kemudian setelah masa cuti habis, saya akan
mengajar naik tangga sampai ke lantai empat. Bismillahirrahmanirrahim. “InsyaAllah
normal aja, Yah” “Yakin ya, Mi?” tanyanya meyakinkan dirinya sendiri.
“InsyaAllah yakin, bismillah”. Suami menyampaikan pada dokter kalau kami
memutuskan melahirkan normal dengan induksi. Saya pun diperiksa lagi ternyata
masih bukaan dua sentimeter. Ya Rabb, mengapa lama sekali. Padahal ini
kelahiran keempat. Biasanya akan lebih cepat dari kelahiran-kelahiran
sebelumnya. Apa karena sudah enam tahun jaraknya dari melahirkan anak yang
ketiga. Beribu tanya menyergap kami berdua. Memperbanyak dzikir dan doa semoga
Allah melancarkan dan memudahkan proses persalinan ini.
Dokter datang lagi dan kembali memberikan pertanyaan yang sama
seperti sebelumnya. Bahkan dokter menawarkan sekalian sterilisasi rahim,
tubektomi. Aku tertegun apakah menjadi suatu hal yang aneh kalau aku tetap
berkeinginan melahirkan normal? Dua orang perawat juga menanyakan hal yang sama.
Dan jawabannya tetap serupa seperti sebelumnya. Kami tetap ingin partus per vaginam. Ruang observasi
kamar bersalin ini sangat besar dan tersekat-sekat oleh gorden-gorden per bed pasien. Kami menunggu majunya bukaan
jalan lahir. Di sebelah kiri sekat, seorang pasien sepertinya baru selesai SC,
terdengar dari percakapannya. Di seberang depan tempat tidur saya juga
terdengar pembicaraan dokter dan perawat, seorang pasien yang akan di-SC tampak
bersiap-siap akan dibawa ke ruang operasi. Waduh, koq dimana-mana SC yah?
Berdasarkan pemeriksaan DSOG saya selama ini, saya tidak mengalami indikasi
medis apa pun untuk diharuskan menjalani SC. Seorang perawat menyodorkan
selembar surat pernyataan kesediaan menggunakan induksi ke suami saya. Suami
membacanya sekilas dan mantap menandatanganinya setelah melihat saya tetap kekeuh ingin melahirkan secara normal.
Waktu bukaan dua, saya masih bisa ngobrol ngalor ngidul bersama suami. Masih bisa balas chat Whatsapp dengan grup keluarga yang menanyakan kondisi saya.
Namun setelah suntikan induksi ditambahkan ke botol infus saya pada waktu
bukaan tiga, subhanallah.. saya tak
bisa berkata apa-apa lagi. Dzikir memenuhi pikiran dan hati. Setiap muncul kontraksi
saya memegang tangan suami untuk meminta dibantu memijat-mijat pinggang demi
meringankan sakit yang sungguh luar biasa. Tapi saya cepat menanamkan pikiran
di otak bawah sadar, bahwa si calon bayi juga sedang sama berjuangnya seperti
saya sekarang ini. Dia sedang mencari jalan lahirnya agar kami segera bertatap
muka. Dia pasti tak sabar ingin mendengar suara ayahnya, kakak dan abangnya.
Hiruk pikuk keceriaan, kadang perang ocehan, adu bantal. Sangat ramai.
Suara-suara yang didengarkannya dari dalam rahim selama ini.
DSOG meningkatkan dosis induksinya menjadi dua kali lipat sembari
memperhitungkan waktu kelahiran. Karena kali ini adalah kelahiran yang keempat
dan setelah dilakukan pemeriksaan dalam, leher rahim telah melunak, berarti
tidak ada masalah. DJJ juga baik. Jika DJJ lemah, dokter akan segera mengambil
keputusan SC. Nak, kau anak yang kuat ya. Bukaan enam. Saking perihnya
kontraksi yang dirasa, mimik muka saya sudah sangat kesakitan sehingga bidan
pembantu persalinan berusaha membantu menguatkan. Kontraksi semakin sering
datangnya dan sudah lima menit sekali. Saya tidak menjerit-jerit atau
berteriak. Saya meremas bantal sekuat-kuatnya, membenamkan kepala saya agar
rasa sakit yang sampai di ubun-ubun itu bisa reda sedikit saja. Namun tidak.
Rasa itu terus bertambah dan bertambah. Saya menggigit bantal yang bersarung
putih bersih itu kuat-kuat, sampai tubuh saya bergetar, menggigil. Mungkin
inilah yang dirasakan orang yang menghadapi sakaratul
maut. Rasanya tak terkatakan. Saya pernah mendengar seorang ibu mengatakan
bahwa melahirkan normal adalah sakit nomor dua. Yang pertama adalah kematian.
Kalau kematian, orangnya tidak bisa lagi berbagi mengenai rasanya. Tapi ibu
melahirkan normal yang selamat masih bisa berbagi dahsyatnya cerita.
Melihat keadaan saya yang demikian, suami berulang kali meminta
pada bidan asisten DSOG untuk memeriksa lagi sudah sampai dimana kemajuan
bukaan liang rahimnya. “Maaf Pak Kami tidak bisa sering-sering memeriksa,
khawatir nanti bayinya kena infeksi, kita tunggu saja DSOG-nya masih di jalan.”
DSOG pergi beberapa waktu ke tempat praktiknya. Bulan Ramadhan jam praktik tak
seperti biasanya. Menunggu pembukaan jalan lahir lengkap, dokter pergi
sebentar. Lagipula ada bidan-bidan berpengalaman yang menemani kami. Mendengar
jawaban bidan itu wajah suami saya memerah, resah. Saya tahu dia gelisah. Ingin
membantu meringankan sakit saya tapi rasanya sudah semua dilakukannya. Sama
sewaktu dia mendampingi ketiga persalinan saya sebelumnya. Sambil berdoa dalam
hati, dia memegangi tangan saya, menguatkan.
Hasil googling saya
tentang proses melahirkan dan juga pengalaman persalinan yang lalu, agar tidak
mengejan dini karena his (kontraksi)
palsu yang bisa berakibat fatal yaitu perobekan vagina ataupun trauma pada bayi
di jalan lahir, maka ibu melahirkan tidak boleh buru-buru mengejan
sekuat-kuatnya sebelum ada instruksi dari pemimpin persalinan, dalam hal ini
DSOG atau bidan. Nah, ketika tiba rasa ingin mengejan sekuat-kuatnya itu saya
mencoba menahannya dengan meremas tangan, jadi memindahkan kekuatan dari rahim
ke tangan. Namun saat-saat terakhir muncul keinginan mengejan yang amat sangat
kuatnya, saya tidak sanggup lagi menahannya dengan genggaman kedua tangan
seperti sebelumnya. Bidan mencegah saya agar jangan mengejan dahulu. Tidak!
Pertahanan saya jebol. Saya tidak kuat lagi, masih terdengar suara bidan
menjawab telepon dokter bahwa saya masih bukaan tujuh menjelang ke delapan.
Padahal ia sudah beberapa waktu tidak memeriksa lagi. Tanpa bisa saya kontrol
lagi, rasanya dari dalam rahim, isi rahim saya meronta keluar sendiri. Seperti
pintu bendungan dibuka. Dan...byurr.. “Oe..Oe..” terdengar tangis bayi. Bidan
kaget. Terlebih lagi dengan adanya dua lilitan tali pusar di lehernya. Pantas
saja pergerakan bayi menuju jalan lahir agak lambat. Perhitungannya masih mau
bukaan delapan tapi bayi sudah lahir sendiri. Mungkin sudah pembukaan lengkap
hanya luput memeriksanya lagi. “Waduh..si ibu.. lahiran yang keempat sudah lupa
ya cara mengejan.” Seru Bu Bidan. Saya tak bertenaga lagi menjawabnya. Yang
saya takutkan adalah akibat fatal karena barusan bayinya menyeruak keluar tanpa
bantuan. Tak terbayangkan keadaan jalan lahirnya, pikir saya. “Alhamdulillah,
laki-laki Mi”, kata suami terharu. Dia kecup kening saya, ucapan terima kasih
karena telah melahirkan dua pasang anaknya. Air mata saya berlinang saat ia
mengumandangkan adzan di telinga Faid Ahmad Rausyan. Faid, semoga dia kelak
menjadi anak yang berfaedah, berguna. Ahmad artinya terpuji, sama seperti nama
tengah abangnya Faqih Ahmad Royyan. Rausyan artinya tercerahkan. Menurut kamus
Munjid yang biasa dipakai di pesantren, Rausyan artinya kaca jendela atap. Jadi
kalau rumah kita ada lotengnya namun tidak ada kaca jendelanya sudah bisa
dipastikan loteng akan pengap dan gelap gulita. Namun jika ada “rausyan” maka
tempat itu akan terang benderang, cerah dan berudara. Bayi Rausyan hadir pada
29 Mei, post date satu hari dari TPP
bertepatan dengan 3 Ramadhan 1438 Hijriyah.
DSOG tergopoh-gopoh mendekati kamar bersalin. Dua puluh tujuh
menit lagi berbuka puasa. Bidan menyampaikan kalau pasien telah melahirkan
pukul 18.20 WIB. “Sebentar ya Bu, Pak..kita lakukan pengecekan dulu apakah
perlu ada tindakan penjahitan, karena tadi kata bidan bayinya mbrojol sendiri,” ujar dokter sambil
tersenyum santai agar saya tidak khawatir. Deg..deg.. saya berharap kalaupun
dijahit seperti ketiga anak sebelumnya, jangan sampai terlalu banyak mengingat
menahan rasa sakitnya subhanallah..
sejenak kemudian dokter berkata sambil melepas sarung tangannya, ”Tidak perlu
jahitan nih, Bu, gak ada perobekan, lecet-lecet juga gak ada” Alhamdulillah,
mata saya basah penuh deraian air mata syukur. Betapa hadiah Ramadhan ini dobel
rasanya. Dikaruniai anak laki-laki dengan kelahiran yang bisa dibilang mudah,
plus tanpa jahitan lagi. Anak pertama tujuh jahitan, yang kedua tak terhitung
berapa jahitan, yang ketiga empat jahitan dan ini yang keempat sama sekali
tidak diperlukan tindakan episiotomi,
karenanya, jalan lahir baik-baik saja. Alhamdulillah,
terima kasih ya Allah. Sebulan yang lalu saya pernah mengeluh sendiri karena
mengajar diberi kelas di lantai empat. Harus naik tangga pelan-pelan dan lamban
seperti siput. Bedanya siput rumahnya di punggung, kalau saya bengkaknya di
depan. Ternyata hikmahnya agar saya mudah melahirkan. ART juga tidak ada sampai
seminggu menjelang melahirkan. Semua saya kerjakan sendiri. Suami membantu
pekerjaan rumah tangga hanya bisa di akhir pekan. Mungkin karena selalu
bergerak ke sana kemari dengan lincahnya, hal itu sangat membantu mudahnya proses
kelahiran.
Rasa syukur ini tak habis-habis. Malu sekali bila mengeluhkan
hal-hal yang remeh temeh. Allah SWT telah memberi banyak sekali, bahkan untuk
sesuatu yang tidak diminta. Titipan-Nya pada kami berdua ada empat orang.
Amanah berikutnya adalah menjadikan mereka semua anak-anak yang shalih
shalihah, anak-anak yang baik, yang bermanfaat bagi umat manusia, pemberat
timbangan kebaikan kami kelak di akhirat.
Posting Komentar untuk "Behind The Story: Persalinanku yang Keempat"
Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.